Sabtu, November 01, 2008

UBAH PERILAKU DEMI LINGKUNGAN

Ada kecenderungan tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup (LH) tak sebanding dengan upaya perbaikan dan pemulihannya. Padahal, pembangunan terutama yang bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) mestinya tak boleh menghilangkan peluang generasi mendatang untuk menikmati berbagai manfaat kekayaan alam.

Pada dekade 1990-an, PBB membawa soal pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia ke dalam pembahasan dan kesepakatan antarnegara. Misalnya lewat KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992 dan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, 1994. Puncaknya, lahirlah Deklarasi Milenium, kesepakatan 289 negara mengenai arah pembangunan dan sasaran yang perlu diwujudkan.

Terabaikannya pertimbangan pelestarian LH dalam pembangunan ekonomi sejak awal abad ke-20 memicu penurunan mutu LH di tingkat global, regional, dan nasional. LH yang paling terkait menyebabkan masalah LH tak dapat dipisah-pisah menurut batas Negara atau asministrasi suatu wilayah.

Masalah LH di Indonesia dipicu pemanfaatan SDA tanpa prinsip lestari. Misalnya, awal 2000 di Padang, Sumbar terjadi bencana terbesar sepanjang sejarah provinsi itu. Tanah longsor, banjir, dan air bah yang disebut galado menelan 111 korban jiwa dan kerugian ekonomi Rp 302 miliar. Pada Januari-pertengahan Desember 2003 terjadi tanah longsor di seluruh Indonesia, 70 diantaranya di Jawa Barat, memakan korban 176 jiwa, 1.563 rumah rusak dan 55 rumah hancur. Pengalihan lahan yang terus berlanjut memicu berkurangnya air tanah, erosi dan banjir. Areal air tawar dari 11,5 juta ha tinggal 5,1 juta ha. Danau berkurang sekitar 774.000 ha menjadi 308.000 ha.

Ini terkait pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi sedunia dari tahun ke tahun. Bumi memang perlu panas di tingkat tertentu. Jika tiada, seluruh permukaan bumi bisa jadi es. Panas itu salah satunya dihasilkan Efek Rumah Kaca (EFK) alami, yaitu terperangkapnya gas buang seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrooksida (N2O)di atmosfer. Namun bila berlebihan, es kutub pun mencair.

Menurut Intergovermentall Panel on Climate Change (IPCC), pemanasan global dapat memicu perubahan berarti dalam sistem fisik dan biologis berbagai ekosistem di daerah garis lintang tinggi (Artika dan Antartika) dan pantai. Seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola hujan dan angin, kadar garam air laut, masa perkembangbiakan hewan dan tanaman, penyebaran spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit.

Jadi upaya sistematis untuk memperlambat laju pamanasan global dan meingkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dalam sistem perencanaan pembangunan, disertai perubahan perilaku masyarakat dunia yang lebih ramah lingkungan, sudah menjadi keharusan.

Indonesia berperan aktif dalam tiap kesepakatan internasional LH. Salah satu yang sangat penting adalah dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim yang berlangsung di Bali, 3-15 Desember 2007. Tercapainya kesepakatan Bali Roadmap memberikan bobot tanggung jawab penuh Indonesia menuju kesepakatan baru menuju Kyoto Protocol pada 2009 di Kopenhagen, Denmark.

Hal terpenting dari pertemuan dunis di Bali itu adalah bangkitnya kesadaran seluruh warga bumi terhadap ancaman perubahan iklim. Perubahan iklim sudah nyata dan harus ditangani. Sesuai tema Hari Lingkungan Hidup 2008 oleh Badan Lingkungan Hidup Dunis, UNEP yaitu “Kick the habit! Towards a low carbon economy” yang di Indonesia menjadi “Ubah perilaku dan cegah pencemaran lingkungan”

By : Prof. (Hon) Ir. Rachmat Witoelar
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar