Pemerintah akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 7 persen. Kebijakan ini mulai berlaku tanggal 1 Februari 2009. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (Depkeu), Anggito Abimanyu, kebijakan cukai ini dibuat untuk mencapai target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 dari sektor cukai hasil tembakau, yakni sebesar Rp 48,2 triliun atau naik Rp 2,7 triliun dari APBN-P 2008.
Untuk mencapai besaran target APBN tersebut, konsumsi rokok akan dikendalikan dengan pertumbuhan 5 persen. Pertumbuhan ini lebih rendah daripada realisasi 2008 yakni sebesar 7 persen. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian kebijakan cukai hasil tembakau.
Pada tanggal 9 Desember 2008, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 203/PMK 011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kebijakan tersebut juga mempertimbangkan road map industri hasil tembakau yang telah dikomunikasikan oleh Pemerintah kepada para pelaku usaha hasil tembakau.
Kebijakan pemerintah mengenai tarif cukai tembakau tahun 2009 mengalami perubahan dari sistem tarif cukai gabungan (advalorum dan spesifik) ke sistem tarif cukai spesifik untuk semua jenis hasil tembakau. Perubahan ini tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceren.
Kebijakan ini mengatur penyederhanaan jumlah golongan pabrik dari tiga golongan menjadi dua golongan untuk jenis sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Sementara untuk jenis sigaret kretek tangan (SKT) tetap terdapat tiga golongan. Sigaret putih tangan filter (SPTF) disetarakan besarannya dengan tarif cukai jenis sigaret kretek tangan filter (SKTF).
"Ini untuk memudahkan pengawasan atas hasil tembakau SPTF dan sebagai upaya menanggulangi usaha menghindari cukai oleh pabrik tertentu," tutur Anggito. Sementara itu, pertimbangan atas batasan harga jual eceren ini dilakukan karena variasi harga jual eceren yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung, melainkan dilakukan secara bertahap.
Kebijakan ini merupakan tahapan simplikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang nantinya akan ditetapkan dengan membedakan tarif cukai antara produk hasil tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Selain itu, kebijakan ini juga mempertimbangkan aspek penyerapan tenaga kerja dan memerhatikan situasi ekonomi terakhir dimana sektor tembakau diharapkan masih berperan sebagai sektor yang labour intensive khususnya untuk jenis hasil tembakau yang dibuat dengan tangan (SKT).
Anggito menuturkan, pemerintah juga menyadari bahwa kebijakan cukai hasil tembakau ini kemungkinan akan berdampak pada sektor lain yang terkait dengan sektor hasil tembakau. Oleh karena itu, alokasi dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau akan digunakan sebagai upaya menanggulangi dampak kebijakan cukai hasil tembakau ini. DBH Cukai tahun 2009 yang berjumlah kurang lebih Rp 960 miliar akan ditujukan untuk memperkuat Balai Latihan Kerja di daerah dan operasi atau rokok ilegal.
Naiknya tarif cukai tembakau sebesar 7 persen diprediksi turut mengerek Harga Transaksi Pasar (HTP) rokok. Paling banyak dapat naik hingga 5 persen dari Harga Jual Eceren (HJE) rokok. Dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang baru ini, perusahaan bisa menaikkan HTP 5 persen di atas HJE.
HJE merupakan harga eceren rokok yang tertera dalam kemasan rokok. Sedangkan HTP merupakan harga beli yang dikenakan pada konsumen di toko atau warung yang biasanya lebih murah dari HJE.
Keputusan untuk menaikkan harga rokok diserahkan kepada masing-masing produsen rokok. Setiap merek rokok biasanya menjual produknya tergantung daya beli masyarakat dan setiap perusahaan memiliki hitung-hitungannya sendiri. "Harga transaksi tergantung penjual terhadap konsumennya. Sekarang pada umumnya harga transaksi pasar masih di bawah HJE," tutur Anggito.Kompas.com
Sabtu, Desember 13, 2008
CUKAI TEMBAKAU
Label:
rokok
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar