Kamis, Oktober 23, 2008

EKONOMI INDONESIA DARI MASA KEMASA : EKSISTENSI EKONOMI RAKYAT


ABSTRAKSI

Rakyat adalah pemilik negara ini, karenanya pembangunan nasional seharusnya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ironisnya, sepanjang sejarah pembangunan ekonomi Indonesia, kue pembangunan nasional lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Rakyat kecil hanya menjadi sumberdaya murah yang sedikit menikmati hasil cucuran keringatnya. Pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil selama ini menimbulkan berbagai problema kompleks. Untuk mengatasinya diperlukan suatu sistem ekonomi yang berasaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Suatu sistem yang bermoral dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berkembang sehingga berkelanjutan. Pencapaian tujuan pembangunan nasional dapat dilakukan salah satunya melalui otonomi daerah dan tentu saja semua itu harus mendapat dukungan sepenuh hati pemerintah terhadap rakyat.

PENDAHULUAN
Sistem ekonomi merupakan suatu aturan main berekonomi, yaitu hubungan antara unsur-unsur ekonomi dalam sistem itu untuk mencapai yang lebih baik. Sepanjang perjalanan sejarahnya, bangsa Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, masa sebelum kemerdekaan (selama dijajah Belanda), dibedakan menjadi 3 masa. Kedua, masa setelah kemerdekaan yang merupakan siklus 7 tahunan sebagai tahap menuju Ekonomi Kerakyatan (Mubyarto;2000).
I. Masa Sebelum Kemerdekaan :
1. 1600 – 1800 Merkantilisme
2. 1830 – 1870 Tanam taksa
3. 1870 – 1945 Kapitalis liberal
II. Masa Setelah Kemerdekaan
1. 1945 – 1952 Ekonomi perang
2. 1952 – 1959 Pembangunan ekonomi nasional
3. 1959 – 1966 Ekonomi komando
4. 1966 -1973 Demokrasi ekonomi
5. 1973 – 1980 Ekonomi minyak
6. 1980 – 1987 Ekonomi keprihatianan
7. 1987 – 1994 Ekonomi konglomerasi
8. 1994 – 2001 Menuju ekonomi kerakyatan
Tetapi saat ini, pada tahap menuju ekonomi kerakyatan, konstelasi ekonomi dan politik dunia telah berubah menjadi liberalisasi dan globalisasi sehingga sistem kapitalisme pasar bebas telah menjadi paham tunggal yang menguasai dunia. Jangan lupa bahwa dalam proses globalisasi selalu ada wilayah yang pertumbuhan ekonominya meningkat tetapi ada juga yang justru lebih miskin dari sebelumnya. Dan kita sebagai suatu bangsa yang mau tidak mau juga menghadapi globalisasi maka tidaklah mengherankan jika kita lebih menekankan pembangunan pada nilai budaya yang kita miliki agar proses globalisasi tidak menjadi proses “gombalisasi”.
Satu hal lagi yang perlu diingat bahwa pembangunan suatu bangsa tidak akan berhasil dengan menggunakan satu resep umum yang berdasarkan teori-teori pembangunan umum. Setiap teori pertumbuhan hanya dapat diterapkan dan berhasil dengan menjadikannya relevan untuk negara dan bangsa yang bersangkutan. Jadi pembangunan memang hanya akan berkelanjutan jika didasarkan dan didukung budaya seluruh warga bangsa.

REFORMASI EKONOMI
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif baik. Namun kondisi politik semakin tidak stabil dan sulit diramalkan, khususnya dengan terjadinya pemberontakan-pemberontakan di daerah dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda tahun 1957-1958. Pada pidato peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin dengan sistem Ekonomi Terpimpin. Kemudian di tahun 1960 ditetapkan Rencana Delapan Tahun yang berdasarkan rencana tersebut Indonesia diharapkan mampu mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Namun perekonomian semakin memburuk sehingga target-target yang ditetapkan tidak tercapai.
Sepanjang periode 1960 – 1965 perekonomian Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti. Pada tahun 1960, 1962, dan 1963 terdapat penurunan pendapatan perkapita yang masing-masing sebesar 1,6%, 3%, dan 4%. Defisit anggaran sangat besar bahkan pada tahun 1962 terjadi peningkatan defisit anggaran sebesar 134%. Uang beredar tumbuh dengan cepat sehingga inflasi pada tahun 1965 mencapai 594% (hyperinflation).[1]
Berbeda dengan kenyataan di atas, pemerintah Orde Baru (Orba) berusaha memperbaiki perekonomian Indonesia dengan mengambil langkah-langkah : membebaskan sistem pengawasan devisa, menerapkan anggaran dinamis sebagai pengendali inflasi, membuka kran penanaman modal asing langsung (UU PMA tahun 1967) dan penanaman modal dalam negeri (UU PMDN tahun 1968), mendirikan konsorsium negara-negara donor bagi utang luar negeri Indonesia (IGGI) dan ditopang dengan oil boom sejak awal 1970 sampai awal 1980-an pemerintah mampu menciptakan pembangunan yang mengagumkan. Di sisi lain, prestasi yang telah dicapai oleh Orba juga mendapat penilaian negatif, yang menyatakan prestasi ekonomi Indonesia adalah semu dengan fundamental yang rapuh. Pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh sumberdaya domestik yang tangguh, tetapi karena investasi asing dan pembiayaan utang luar negeri sehingga Indonesia terjerat pada lingkaran utang tak berujung pangkal dan tidak dapat membiayai pembangunan tanpa utang ini (debt trap). Ini semua menimbulkan beban bagi negara yang menyebabkan terjadinya “ekonomi biaya tinggi” yang pasti tidak efisien. Adanya deregulasi 1983 dan kebijakan Pakto ’88 merupakan awal era konglomerasi yang dianggap sebagai dewa penolong bagi perekonomian nasional ternyata membawa ketidakmerataan yang lebih jauh bagi rakyat Indonesia.
Kelahiran konglomerat memang banyak terkait dengan kebijakan pemerintah yang memberi banyak peluang untuk berkembang dengan dukungan berbagai fasilitas berupa proteksi, hak monopoli dan oligopoli, bantuan kredit seperti kredit sindikasi, subsidi dan sebagainya. Fasilitas proteksi direkayasa dengan berlindung di balik pengembangan industri dalam negeri, atau diberi label komoditi strategis, dan untuk perluasan kesempatan kerja. Untuk mendapatkan modal yang besar, rekayasa dilakukan dengan mengajukan pinjaman ke bank dan masuk ke pasar modal. Perluasan perusahaan dengan memanfaatkan dana bank antara lain dilakukan dengan praktek mark-up sehingga memungkinkan dengan modal terbatas atau tanpa modal sendiri membuat perusahaan baru. Untuk mendapatkan itu konglomerat harus dekat dengan jaringan birokrasi yang membuka peluang sangat besar terhadap berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga timbul sebutan kapitalis birokrat, kapitalis semu atau kapitalisme perkoncoan (crony capitalism).
Proteksi yang seharusnya bersifat sementara terutama pada infant industry yang notabene milik konglomerat menjadi akut. Industri memang berkembang pesat tetapi bukan karena efisiensi melainkan karena banyaknya proteksi yang diperoleh. Krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 telah banyak menghancurkan bisnis konglomerat Indonesia merupakan bukti bahwa lemahnya daya tahan dan daya saing mereka karena proteksi yang berlebihan tersebut. Untuk memberantas konglomerasi yang merugikan ekonomi terutama ekonomi rakyat kecil diperlukan kaji ulang terhadap sistem ekonomi yang kapitalis dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral.
Pengkajian ulang sistem ekonomi ini memerlukan perubahan radikal (reformasi) yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sekaligus menghapus berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah ketimpangan alokasi kredit yang diterima oleh sektor pertanian. Sejauh ini alokasi kredit perbankan lebih banyak masuk ke sektor modern yang hanya sebagian kecil masyarakat yang menggelutinya. Sektor ekonomi yang berkaitan dengan rakyat banyak, yakni pertanian hanya menikmati porsi kecil dari kredit yang ada. Kredit yang diterima oleh sektor ini pada tahun 2000 sebesar Rp 15.028 miliar sedangkan sektor industri sebesar Rp 35.697 miliar, perdagangan Rp 30.601 miliar, dan jasa sebesar Rp 23.784 miliar. Tiga sektor terakhir merupakan penyerap terbanyak dari kredit perbankan nasional walaupun menampung relatif sedikit tenaga kerja. Selain ketimpangan antar sektor juga terdapat ketimpangan antar daerah terutama antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, ketimpangan antar golongan ekonomi, dan ketimpangan yang paling parah adalah kemiskinan. Ketimpangan-ketimpangan ini jika tidak ditindaklanjuti, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak kapan saja.

Keadaan masyarakat sudah tidak seperti dulu lagi. Selain adanya ketimpangan-ketimpangan, juga terdapat perubahan sikap masyarakat terhadap pemerintah. Seperti yang dinyatakan oleh seorang pengamat tentang Indonesia, Eugene Galbraith,
We went through a period where people were dependent on the government. And then a period when people were disappointed by the government. Now, people just ignore the government. That progress.”[2]

Untuk mengurangi ketimpangan, diperlukan suatu reformasi ekonomi dimana harus dilakukan dengan mengganti sistem kapitalis dan menerapkan sistem ekonomi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang berasaskan keadilan ekonomi, nasionalisme, dan kerakyatan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat adil dan makmur yang dimaksudkan adalah masyarakat yang taraf kehidupannya serba berkecukupan (tidak miskin), dan tidak ada kesenjangan kesejahteraan yang besar antar warga negara, dengan Sistem Ekonomi Pancasila ini diharapkan ekonomi rakyat memperoleh jaminan berkembang dengan leluasa sehingga “berkelanjutan”. Pembangunan ekonomi juga demikian, yaitu tidak boros dalam penggunaan sumberdaya alam yang memberikan nikmat berlebihan pada generasi sekarang tetapi membuat sengsara generasi mendatang.
Ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi produktif yang dilaksanakan rakyat atau masyarakat kecil secara swadaya dengan mendayagunakan sumberdaya yang dapat dikuasainya dalam lingkungan terbatas dengan teknologi sederhana. Demikian, ekonomi rakyat berciri subsistem (tradisional), tenaga kerja keluarga, modal dan teknologi seadanya. Kegiatan ini lebih bersifat produktif bukan konsumtif, yaitu segala upaya untuk menghasilkan barang atau pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Ekonomi rakyat sangat berbeda dengan ekonomi konglomerat. Ekonomi konglomerat bersifat kapitalistik yang hanya mengejar keuntungan tanpa batas dengan cara bersaing bahkan menjurus pada persaingan yang saling mematikan (free fight liberalism). Sedangkan ekonomi rakyat adalah ekonomi yang sifatnya tidak kapitalistik dengan semangat yang menonjol adalah bekerja sama, karena efisiensi hanya akan tercapai dengan kerja sama yang “kompak”. Bangun usaha yang menekankan pada kerja sama adalah koperasi dimana produksi semua barang yang dibutuhkan masyarakat dikerjakan oleh semua masyarakat dan pelaksanaannya diawasi langsung oleh anggota-anggota masyarakat baik yang terorganisasi dalam badan perwakilan, lembaga swadaya maupun pers, kemudian hasilnya diperuntukkan sepenuhnya bagi masyarakat tersebut.

EKONOMI RAKYAT BUKAN SEBUAH RETORIKA
Krisis ekonomi yang terjadi di Indoneia saat ini merupakan akibat dari kebijakan ekonomi yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan ekonomi konglomerat. Di pihak lain justru menyebabkan terabaikannya pemerataan dan keadilan.
Berbeda dengan industri modern yang ambruk diserang krisis, tidak demikian halnya dengan sektor pertanian dan Usaha Kecil dan Mengengah (UKM). Berdasarkan laporan BPS bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) di 5 propinsi selama Januari-November 1998 meningkat rata-rata 11,7% dibanding NTP tahun 1997. Kenaikan angka NTP di 5 propinsi tersebut masing-masing Propinsi Sumatera Selatan sebesar 17,0%, Daerah Istimewa Jogjakarta sebesar 14,4%, Nusa Tenggara Barat sebesar 13,7%, Sulawesi Selatan sebesar 6,8%, serta Bali sebesar 6,7%.[3] Berarti di propinsi-propinsi ini kesejahteraan petani meningkat setelah krisis moneter dan memberikan rangsangan khusus pada produksi hasil pertanian. Krisis ekonomi telah menguntungkan sebagian petani.
Krisis ekonomi adalah suatu bentuk koreksi pasar terhadap strategi pembangunan ekonomi yang ditempuh. Karena itu diperlukan reformasi strategi pembangunan ekonomi yang lebih mengandalkan potensi ekonomi domestik yang ditujukan untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Keputusan ekonomi politik yang memberdayakan ekonomi rakyat dan desentralisasi ekonomi (dalam arti luas, tidak hanya pembagian keuangan pusat-daerah) merupakan wujud reformasi ekonomi. Pilihannya adalah melakukan focusing pada sektor-sektor ekonomi yang tidak memerlukan investasi pemerintah yang besar tetapi mampu menciptakan kesempatan kerja, berusaha dan pendapatan yang cukup besar dan meluas di setiap daerah, yakni sektor pertanian.
Seperti yang dinyatakan oleh Menteri Pertanian Bungaran Saragih[4] bahwa pembangunan pertanian Indonesia memerlukan perbaikan visi dan kesabaran untuk memetik hasilnya. Departemen Pertanian berkeinginan untuk mengubah paradigmanya. Pertama, pelaku pembangunan pertanian bukanlah pemerintah tetapi masyarakat. Pemerintah hanya memfasilitasi dan membuat regulasi. Selanjutnya mengubah cara pandang petani bahwa bertani itu bukan sekedar jalan hidup, tetapi sebuah kegiatan bisnis. Kegiatan pertanian bukan hanya didasarkan pada produk yang dihasilkan tapi apa yang diinginkan oleh pasar.
Indonesia bisa belajar dari pertanian Cina yang berjalan baik karena mereka tahu benar siapa diri mereka. Mereka adalah bangsa petani dan karena pertanian itu mereka menjadi besar. Kemudian memaksimalkan potensi itu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk membantu mensejahterakan bangsanya.
Seperti halnya sektor pertanian, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga merupakan sektor ekonomi rakyat yang “tahan banting” sehingga mampu menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, politik dan keamanan yang berubah. Krisis multi-dimensi yang menghancurkan sektor ekonomi modern bisa direspon dengan baik oleh sektor ekonomi rakyat ini.
Ini memungkinkann terjadi mengingat UKM tidak tergantung pada bahan baku impor. Pada waktu harga bahan baku impor melambung sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah, UKM justru terus berproduksi dengan harga relatif lebih stabil karena menggunakan bahan baku lokal. UKM memiliki potensi pasar yang tinggi karena biaya produksi rendah, harga produk yang dihasilkan relatif menjadi rendah sehingga terjangkau oleh kalangan pasar terbesar di Indonesia, yaitu golongan ekonomi lemah.
Data BPS menunjukkan jumlah UKM pada tahun 2001 sebanyak 39,04 juta unit atau sekitar 99% dari total unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 74,4 juta orang atau 99,6% dari total angkatan kerja di Indonesia.[5] Walaupun UKM dapat bertahan dalam badai krisis, pada kenyataannya mereka masih membutuhkan bantuan modal seperti Kredit Usaha Kecil (KUK). Pada periode Desember 2000 – Agustus 2001, KUK tumbuh sebesar 11,4% sedangkan kredit bukan KUK hanya sekitar 4,3%.
Deretan panjang bank yang percaya akan ketangguhan UKM kini telah bertambah. Kita akan melihat tingkat kepercayaan bank-bank yang berkantor pusat di daerah terhadap UKM. Menurut data Bank Indonesia, ada 20 bank yang berkantor pusat di daerah, jumlah ini belum termasuk Bank Pembanguan Daerah (BPD). Dari 20 bank tersebut, Bank Maspion, Bank NISP, dan Bank Nusantara Parahyangan (BNP) yang memiliki kepercayaan tinggi terhadap para pengusaha sektor UKM. Ini dapat dilihat dari alokasi kredit yang mereka kucurkan untuk UKM tergolong besar dari alokasi kredit totalnya.
Bank Maspion berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur, per-Juni 2001 telah mengucurkan dana sekitar Rp 565 miliar untuk sektor UKM dengan kredit totalnya yang Rp 588,51 miliar berarti bank ini telah mengalokasikan kreditnya untuk UKM sekitar 96%. Bank NISP yang berkantor pusat di Bandung mengalokasikan sebesar 70% dari kredit totalnya untuk UKM sedangkan BNP yang juga berkantor pusat di Bandung, menyalurkan hampir seluruh dana kreditnya untuk UKM.
Menjadikan sektor UKM yang lentur bukanlah mudah bagi sektor perbankan. Banyak kendala yang dihadapi pihak bank, antara lain masalah administrasi, UKM tidak memiliki jaminan yang memadai, pembukuan yang seadanya, strategi marketing yang kurang dan teknologi yang relatif sederhana. Untuk mengatasinya bank-bank tersebut memberikan sejumlah solusi dengan menyediakan informasi pasar (pemasok dan pelanggan), serta menekankan pentingnya memiliki pembukuan yang rapi serta rajin untuk berkonsultasi.
Pengalaman dari pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila yang juga telah membuktikan bahwa ekonomi rakyat memiliki daya tahan yang tinggi adalah Program IDT. Program IDT merupakan program ekonomi dengan pendekatan sosial dan moral untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan penduduk miskin melalui pengembangan-pengembangan usaha produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga miskin. Program ini mengupayakan pemberdayaan masyarakat melalui pemberian bantuan modal kerja yang makin memampukan kegiatan ekonomi mereka dan akhirnya memandirikannya.[6]
Kemandirian usaha merupakan salah satu ukuran keberhasilan program. Jika usaha-usaha anggota telah mandiri, tidak lagi tergantung pada pemerintah atau pihak luar maka program akan berubah menjadi suatu gerakan swadaya yang mandiri.
Survei Pokmas IDT oleh BPS mengenai dampak ekonomi program, dampak partisipasi, kemandirian dan kelembagaan secara umum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dampak ekonomi rata-rata untuk seluruh Indonesia adalah 58,8%, dengan persentase tertinggi adalah Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (90%) disusul oleh Propinsi Bali (87%), DKI Jakarta (87%), Sulawesi Utara (85%), Jawa Barat (83%), Nusa Tenggara Timur (79%) dan Sulawesi Tengah (77%). Kalimantan Barat merupakan daerah yang paling mengecewakan di Indonesia dengan keberhasilan tingkat hanya 20% berarti 80% kelompok masyarakatnya gagal memanfaatkan program IDT.
OTONOMI DAERAH
Pembangunan ekonomi direncanakan terpusat melalui pembangunan ber-Pelita dimana rencana pembangunan diatur dan dikendalikan sepenuhnya di pusat sebagai pembangunan nasional, dan setiap daerah memperoleh semacam alokasi anggaran dan program serta proyek tertentu yang merupakan program nasional yang ditempatkan di daerah yang bersangkutan. Jadi pembangunan di daerah bukan pembangunan milik daerah melainkan pembangunan nasional yang berdasarkan kemurahan hati Bappenas dan Departemen Dalam Negeri kepada daerah tertentu. Dalam istilah lain, pembangunan dikelola secara top down.
Dengan diberlakukannya UU no 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU no 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, diharapkan daerah memiliki keleluasaan yang lebih banyak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan bisa mengarah pada pengelolaan secara bottom up. Dengan demikian pemerintah daerah bukan lagi sekedar operator pembangunan, tetapi juga sebagai entepeuner, koordinator, fasilitator, dan stimulator.[8]
Dengan pengelolaan yang bottom up akan menciptakan suatu pembangunan yang kreatif yaitu pembangunan yang mampu memberikan ciri khas daerahnya sendiri sehingga daerah tersebut nantinya akan memiliki keunggulan yang kompetitif. Perlu diperhatikan bahwa pembangunan berdasarkan ciri khas berarti pembangunan berdasarkan pada budaya yang dianut oleh masayarakat daerah yang bersangkutan. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa pembangunan memang hanya akan berkelanjutan jika didasarkan dan didukung budaya seluruh masyarakatnya.

PENUTUP
Sejarah telah membuktikan bahwa sistem ekonomi sosialis maupun liberal yang “kebablasan” tidak menuntun rakyat Indonesia menuju kadilan sosial tetapi justru menuntun ke arah ketidakadilan dan kesengsaraan yang menyedihkan.
Terlebih lagi dengan pelaksaan struktur ekonomi yang terlalu bersandar pada ekonomi konglomerat akhirnya akan sangat tergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri karena produk yang dihasilkan mengandung local intent yang rendah. Terbukti bahwa imbas dari krisis moneter telah menghancurkan ekonomi tersebut. Karena itu diperlukan penyesuaian kebijakan yang berpihak tanpa ragu pada ekonomi rakyat. Sehingga terwujud strategi pembangunan yang berpihak pada rakyat banyak dan memberi peluang kepada sebagian besar rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan ekonomi tersebut serta menikmati hasil dari keterlibatannya secara layak. Kebijakan harus bias ke ekonomi rakyat dalam rangka memperkuat posisinya untuk bersaing di pasar yang kian terbuka.
Seperti yang telah diamanatkan oleh GBHN 1999-2004 bahwa perkonomian dibanguna berlandaskan sistem ekonomi kerakyatan, dimana kekuatan ekonomi rakyat dikembangkan menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi nasional.
[1] Hal Hill, “Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966”, 1996, hlm 4.
[2] Newsweek, “Boom in The Gloom : fires, rebels, debt. The dramatic headlines mask a surprising economic story in Indonesia, 11 Maret 2002.
[3] Mubyarto, “Reformasi Sistem Ekonomi”, 1999
[4] Kompas, “Pembangunan Pertanian Butuh Visi dan Kesabaran”, 28 Maret 2002
[5]Kompas, “UKM Memiliki Ketahan Lebih Baik Dibanding Usaha Besar” , 26 Oktober 2001.
[6] Mubyarto, idem.
[7] Mubyarto, “Reformasi Sistem Ekonomi”, hlm 75
[8] Lincolin Arsyad, “Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah” 1999.
By "PUT"

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar:

Posting Komentar