Selasa, Februari 17, 2009

DICARI! High Quality Jomblo

Aku punya teman satu angkatan di kampus, sebut saja namanya Putri. Kami sudah cukup lama ngga ketemu karena jadwal kami di kampus ngga pernah bareng. Kemarin kami bertemu, jadilah waktu istirahatku yang cuma 1 jam kami gunakan untuk bertukar cerita n rumpi-rumpi. Banyak hal yang bisa aku jadikan pelajaran dari cerita-cerita Putri.


Ternyata temanku yang cantik ini beberapa bulan yang lalu memutuskan hubungan dengan kekasihnya atau lebih tepatnya calon suami (mereka sudah memasuki tahap lamaran). Alasannya, karena si laki-laki tidak bisa memberi kepastian berapa lama Putri harus menunggu agar bisa bersama. Sekedar informasi, kekasih Putri bekerja di Ausie dengan permanent residence dan sedang giat-giatnya mengejar karir sedangkan Putri tidak mungkin pindah ke Ausie karena status kepegawaian dia sekarang sudah tetap. Sebenarnya putri tidak keberatan harus menunggu, hanya saja harus ada batas waktunya. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, yang jelas ada kepastiannya kapan. Kalau ada kepastian, akan mudah buat Putri untuk planning hal-hal apa yang bisa dia lakukan selama penantian itu. Sampai pada hari lamaran tiba, ternyata si laki-laki tetap memberikan jawaban yang mengambang alias tidak jelas dan tidak pasti. Berakhirlah lamaran itu dengan kata "putus".

Aku salut dengan keputusan yang diambil Putri. Karena hubungan mereka sudah hitungan tahun dan sampai pada tahap lamaran, tapi Putri berani memutuskan hubungan karena dia tidak mendapat kepastian. Aku tanya kenapa dia begitu berani mengambil keputusan? Apa tidak ada rasa takut kehilangan orang yang disayang? Jawabannya cukup mengejutkanku. Dia bilang berani dan tidak merasa kehilangan. Walaupun hubungan mereka sudah lama, ikatan batin mereka tidak kuat (they had long distance relationship). Mereka jarang ketemu. Selama pacaran mereka hanya mengandalkan kecanggihan teknologi untuk berkomunikasi. Mereka sempat bersama (tinggal di satu kota) ketika Putri melanjutkan studinya di negeri kangguru dan itu pun tidak lama. Karena ikatan batin tidak begitu kuat, akibatnya rasa kangen jarang ada, perhatian seadanya. Sangat easy going dan Putri sudah terbiasa dengan hal itu. Satu lagi, Putri selama pacaran tidak berubah, dia tetap menjadi seorang Putri yang mandiri, tidak tergantung ma cowoknya. She never relies on him!

Mendengar alasan-alasan yang diucapkan Putri membuat aku sadar, mungkin dua hal itu yang membuat aku begitu sulit berpisah dengan orang yang aku sayang. Ikatan batin yang kuat dan rasa bergantung sebagai tempat bersandar. Pelajaran pertama buatku.

Putri melanjutkan ceritanya. Sekarang Putri sudah kembali normal setelah masa "pemulihan" tanpa seorang kekasih. Tanpa kekasih. Inilah yang menjadi masalah baru buatnya. Dia tidak pernah menyangka kalau dia bakal jomblo di usianya yang ke 27. Selama ini di kamusnya tidak pernah ada kata jomblo. Ga heran juga sih, temanku ini orangnya sangat modis. Cantik, putih, tinggi semampai (bukan satu meter tak sampai lho....) bak peragawati, ramah pada semua orang, dandan update, sudah menyelesaikan pendidikan S2 di luar negeri, dengan pekerjaan yang memiliki prestise tinggi. Ga ada kurangnya deh. Tapi sampai sekarang dia belum mendapat pengganti yang klik di dia.


Yang bikin aku salut lagi, usahanya itu lho....dia "beredar" untuk mencari pasangan hidup (hal yang ga sekalipun pernah terpikirkan olehku). Dia sering nongkrong di mall, gym, dan tempat-tempat lain yang mang strategis buat nongkrong. Kalau di fs ma fbook jangan ditanya lagi deh. Selalu update. Pertanyaannya, "Pada kemana sih qualified jomblo? Kok susah kali nemunya."
Akhirnya Putri sampai pada titik "malas". Dia udah ga "beredar" lagi. Yang masih dilakoninya cuma fs ma fbook.

Aku tanya kenapa? Dia bilang, ternyata susah mencari orang yang sesuai dengan kriterianya (minimal selevel ma dia n berusia 30an, single). Setelah dia baca-baca dari berbagai sumber, laki-laki di Indonesia yang berumur 30an biasanya sudah menikah dan kalaupun belum, biasanya orang-orang ini adalah orang yang sedang mengejar achievement untuk menunjukkan eksistensinya. Orang-orang seperti itu kebanyakan adanya di kota-kota metro seperti Jakarta. Nah..lho! Putri kan ga mungkin pindah ke Jakarta untuk berburu pasangan hidup sementara kerjaan tetep harus jalan.
Setelah segala usaha plus berbagai info yang dia baca, kesimpulannya : "Putri tunggu aja deh. Mungkin mang belum waktunya ketemu ma pasangan hidup Putri. Mudahan aja nanti dapat gantinya yang sesuai dengan kriteria Putri"

Aku cuma tersenyum mendengar kalimat kesimpulan dari Putri (setelah ceritanya yang begitu berapi-api). Tidak banyak yang bisa aku katakan ke Putri. Aku cuma bisa bilang, "sabar aja Put. Mungkin mang belum waktunya. Pasti ada hal lain yang bisa kamu kerjakan walaupun tanpa kekasih. Hal-hal lain yang lebih penting n berguna. Setidaknya kamu udah berusaha. Berdoa aja biar pasanganmu cepat datang".

Pelajaran kedua buatku, kita sebagai manusia boleh berusaha tapi jodoh udah ada yang mengatur. Sama seperti hidup, mati dan rejeki. Kita tinggal menjalaninya dan selalu berdoa semoga permohonan kita dikabulkan-Nya.
Jadi.....daripada terpaku dengan satu hal, misalnya menggapai seorang kekasih, lebih baik (berusahalah) mengerjakan hal lain yang lebih berarti buat diri kita sendiri dan orang lain. Walaupun itu sangat sulit. Karena aku sendiri mengalaminya. At least we tried.

Good luck Putri!
-oe-

Selengkapnya....

Sabtu, Februari 14, 2009

LEGAL JUSTICE FOR THE POOR

Not too long ago, our Central Bank’s officials received legal aid worth Rp 92.25 billion. Meanwhile, the poor in the country are still struggling to achieve equality before the law. Today, the term of legal aid is beginning to lose its meaning, both in concept and implementation.

According to the investigation of the Supreme Audit Agency (BPK), for instance, a sum of Rp 96.25 billion (approx. US$8.6 million) has been channeled by the Indonesian Central Bank (BI) to provide legal aid to several of its former officials who were being prosecuted in relation to the Bank Indonesia Liquidity Assistance (BLBI) case. While the case was still under investigation, Korpri (the Republic of Indonesia Civil Servants Corps), which has 4 million registered members, announced its intention to form its own Legal Aid and Consulting Agency (LKBH).

In a country like Indonesia where the legal aid system is not well-regulated by a comprehensive act, the impact of such term or notion deviations may lead to complex circumstances. Legal aid should be provided to the poor and the disadvantaged whose population perhaps is a dozen times bigger than state employees, let alone the central bank’s officials. Given the complex character of some legal issues, who has the responsibility of helping the disadvantaged people?

Access to Justice
Access to legal aid is the fundamental right of each individual. Based on the rights, each individual shall have appropriate access to justice, whether rich or poor. Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution stressed that all citizens without exception shall be equal before the law and in government, and shall have the duty to uphold the law and the government.

In general, legal aid can be understood as providing legal services to disadvantaged people—usually in the economic sense. It can also be understood as financial assistance available to people who are unable to meet the full cost of legal proceedings (Collins Essential English Dictionary 2nd Edition, 2006). Given that legal aid is considered as a basic human right, then legal aid has two implications: the right to legal representation and access to justice.

The right to legal representation means being represented or assisted by a lawyer during trial. Access to justice has wider dimensions, and means much more than improving an individual's access to courts or guaranteeing legal representation. It is about ensuring that legal and judicial outcomes are just and equitable (UNDP, 2004).

According to Adnan Buyung Nasution (2005), access to justice has three key elements: the right to use and/or extract benefits from the law as well as from the court system in order to achieve material justice and truth, the warrant and the availability of the rights’ (law) fulfillment system and infrastructure for disadvantaged people, as well as method or procedure to broaden access to justice for the poor.

Indonesia does not have a comprehensive regulation on the legal aid system. As a result, there is no comprehensive action in providing legal aid for the poor. The government only supports a small amount of them, both in practice and financing. What we have is, instead, a legal aid funding for government institutions, as was stipulated in the state budget (APBN).

According to the 2008 state budget, the Supreme Court received a total funding allocation for the enhancement of legal aid and services program in the amount of Rp 6.454 trillion (approx. US$576 million). Other institutions received similar funding, including the General Attorney Office (Rp 2 trillion), the General Elections Committee (Rp 793.9 billion), and the Department of Law and Human Rights (Rp 4.846 trillion).
However, in practice, most of the funding goes into internal purpose, i.e. for the respective bureau/department. Only a small amount goes towards public purposes, which are mostly used for campaigning program, publication, short-term consultation, and direct legal assistance to the poor who are deprived of justice.

The Rights of the Poor
There are two aspects that need to be highlighted if we wish to bring justice to the poor, in terms of legal aid.

First, the lawyer’s role and the commitment must be purified. Secondly, the government must take reasonable steps to appropriately regulate the legal aid system.

The first point stresses that lawyers should understand their position as those who have a respectable and noble profession. Article 22 paragraph (1) of Law No. 18/2003 regarding Advocates maintained that lawyers shall provide free legal aid to disadvantaged people.

According to the article, such obligation rests upon every lawyer due to the nobility of their profession. This means that every lawyer should work as hard as they can, both materially and immaterially, to provide legal aid to disadvantaged people.

The second point requires the state to formulate a law that ensures the right and access of poor people to legal aid. Such guarantee will provide greater certainty and clarity regarding the mechanism for funding and providing legal aid to disadvantaged people. This will prove that the government is actually concerned with legal justice and poor people.

In other countries, the responsibility for financing legal aid is assumed by the state (in the budget) and is allocated annually. Australia Legal Aid Commission (2003-2004) received a total funding of AU$ 337.757 million, The Taiwan Legal Aid Foundation (2003-2004) received NT$ 217.97 million, and a similar agency in South Africa (2006-2007) received US$ 77.7 million. Each year, the budgetary allocation for legal aid in such countries is always increased.

Not all issues related to legal aid provision can be solved by funding allocation. In the process, we need determination, seriousness, and the purity of each supporting element, so they could be well targeted and reach disadvantage people who are desperate for justice.

South Africa, for instance, established an independent committee/association to manage its legal aid fund, which distributes the fund to legal aid practitioners, engages in supervision, and reports the result to the parliament as part of its public responsibility.

Legal aid is strongly connected with societal justice as well as human rights. Consequently, the state has obligation to protect and fulfill them. If they fail to do so, then it begs the question of: is it really true that the state guarantee human rights? vivanews.com

Selengkapnya....

Jumat, Februari 13, 2009

KEMISKINAN BERTAMBAH ; Pastikan Semua Proyek Padat Karya Segera Berjalan

Krisis ekonomi global membuat upaya pengurangan jumlah orang miskin di Indonesia tertahan. Jumlah orang miskin pada tahun 2009 diperkirakan melonjak ke angka 33,714 juta orang, lebih tinggi dari target yang diinginkan pemerintah pada level 32,38 juta orang.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta mengungkapkan hal itu di Jakarta, Kamis (12/2), dalam rapat kerja dengan Panitia Anggaran DPR. Rapat yang mengagendakan laporan pemerintah atas perubahan APBN 2009 itu dihadiri Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Boediono.

Jumlah 33,714 juta orang miskin itu setara dengan 14,87 persen jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya, tingkat kemiskinan pun meningkat dari rencana semula yang ditetapkan dalam APBN 2009, yakni 14 persen dari jumlah penduduk.

Jumlah penduduk miskin itu terjadi jika laju inflasi ada di level 9 persen dan pertumbuhan ekonomi pada level terparah berdasarkan perhitungan pemerintah, yakni 4,5 persen. Itu berarti laju inflasinya lebih tinggi dibandingkan dengan target inflasi pada APBN 2009 (6,2 persen) dan pertumbuhan ekonomi (6 persen).

Paskah mengatakan, laju inflasi 9 persen itu menjadi acuan karena diperkirakan terjadi pada Maret 2009 atau saat Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) digelar. Pemerintah sendiri menargetkan laju inflasi akan ada di level 6 persen pada akhir 2009.

Meskipun inflasi ditetapkan di level 6 persen, jumlah penduduk miskin tetap akan jauh di atas target yang diinginkan pemerintah. Pada laju inflasi 6 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,5 persen, jumlah penduduk miskin bisa mencapai 29,995 juta orang. Itu berarti naik 2,24 juta orang di atas keinginan pemerintah, yakni 27,755 juta orang.
Tingkat inflasi tinggi yang ditandai dengan melonjaknya harga barang dan jasa kebutuhan akan memukul daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah sehingga jatuh ke kategori miskin. Adapun pertumbuhan ekonomi yang rendah akan berdampak pada semakin sempitnya lapangan kerja yang membuat semakin banyak orang menganggur tanpa penghasilan. Padahal, angkatan kerja yang masuk pasar kerja makin bertambah. Hal ini juga menambah jumlah orang miskin.

Stimulus
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan, peningkatan jumlah penduduk miskin itu tidak terhindarkan karena krisis ekonomi. Namun, jumlah tersebut diharapkan akan berkurang jika seluruh program stimulus fiskal berjalan.

”Dengan adanya stimulus fiskal, akan banyak tenaga kerja di sektor formal yang bisa ditampung di sektor informal. Peralihan itu dibiayai oleh stimulus. Jika semua program itu segera berjalan, tingkat kemiskinan seharusnya bisa ditekan,” ujar Anggito.

Pemerintah mengumumkan stimulus fiskal senilai Rp 71,3 triliun yang dialokasikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan daya saing dan daya tahan dunia usaha, serta meningkatkan belanja infrastruktur yang padat karya.

Peningkatan daya beli masyarakat dilakukan melalui program subsidi harga obat generik, subsidi harga minyak goreng, dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun untuk peningkatan daya saing dan daya tahan dunia usaha, pemerintah memberikan pembebasan bea masuk, fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) badan, PPh Pasal 21 karyawan, penurunan harga solar, dan kredit usaha rakyat (KUR).

Dalam meningkatkan belanja infrastruktur, stimulus diarahkan, antara lain, pada rehabilitasi jalan kabupaten, bandar udara, pelabuhan, dan pembangunan rumah susun sederhana sewa.

Hilang kesempatan kerja
Ekonom senior Indef, Fadhil Hasan, mengatakan, dengan adanya pelambatan ekonomi, jumlah penduduk miskin akan bertambah. Sebab, setiap 1 persen pelambatan ekonomi akan menyebabkan hilangnya kesempatan kerja bagi 300.000 orang. Jika itu dikalikan dengan empat anggota keluarga, ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi akibat hilangnya pekerjaan. Akibatnya, mereka jatuh miskin.

”Itu belum memperhitungkan TKI (tenaga kerja Indonesia) yang dipulangkan, sekitar 600.000 orang. Mereka juga akan menjadi penganggur di dalam negeri,” ujar Fadhil.

Untuk menekan jumlah penduduk miskin, pemerintah harus memastikan semua program padat karya bisa dilaksanakan dengan cepat. Fokusnya adalah pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, pembangunan infrastruktur melalui program padat karya, dan KUR.

”Itu semua program bagus, tetapi harus berjalan efektif. Berbagai hambatan pada program itu harus diperbaiki,” tutur Fadhil.

Membingungkan
Soal angka Bappenas itu, pengamat ekonomi, Hendry Saparini, mengatakan, target dan data kemiskinan pemerintah itu membingungkan karena jauh lebih rendah daripada angka kemiskinan yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik pada Maret 2007, yakni sekitar 35 juta orang.

Padahal, angka kemiskinan bisa lebih besar karena harga bahan makanan pokok masih mahal sehingga daya beli masyarakat masih lemah. Kompas.com

Selengkapnya....

AKHIRNYA.........

Akhirnya......hari ini aku bener-bener bisa menikmati hidup santai setelah hampir 2 minggu dapet shock therapy ma jadwal tugasku semester ni yang amat padat.

2 minggu terakhir aku harus beradaptasi dengan jadwal tugasku yang baru untuk semester ini. Jadwal yang bagiku sangat kacau karena semua waktunya nanggung dan bikin aku susah istirahat. Tapi lumayan deh, sekarang udah mulai bisa menyesuaikan. Terpaksa menyesuaikan jadwalku sebelumnya biar bisa istirahat kayak hari ini.
Aku seharian bisa istirahat, tinggal di rumah aja, bisa baca-baca, nonton tivi, leyeh-leyeh. Duh, senengnya. Pas gini baru ngerasa, ternyata waktu itu harus bener-bener kita atur biar bisa menikmati hidup dengan nyaman.
Kuncinya ada di agenda kegiatan kita. Terutama buat orang kayak aku yang cukup pelupa karena memoriku pas-pasan. Aku baru merasakan manfaat agenda n reminder biar kegiatanku lebih teratur. Yang lebih bagus lagi, aku jadi bisa mengurangi kebiasaanku menunda tugas-tugas yang aku anggap enteng. Isn't it great?!
Tapi bukan berarti agenda segalanya lho...Kalau anda memiliki memori yang sangat baik untuk mengorganize aktivitas anda, ya selamat, anda layak dapat bintang! Berarti tanpa agenda pun hidup anda sudah berirama yang teratur. Jadi nikmatilah hidup sebaik mungkin dengan cara yang paling nyaman buat anda. (positively)


Selengkapnya....