Senin, Oktober 27, 2008

Listen to The Music

Wanna hear a'kind of music????? Tinggal klik nama artis yang mo didengerin lagunya di finetone radio. Ga nemu nama artisnya???? Bukan berarti lagunya ga ada lho..o..o... Ketik aja nama artis yang mo didengerin lagunya di kotak "search" n listen to the music. Enjoy it!!!

Selengkapnya....

Shirley Temple "Song n Dance"

Selengkapnya....

Shirley Temple "I Love to Walk in The Rain"

Selengkapnya....

Shirley Temple in Love's Young Dream

Selengkapnya....

Shirley Temple in War Babies

Selengkapnya....

Shirley Temple Medley

Selengkapnya....

Shirley Temple Movie Legends

Selengkapnya....

Sabtu, Oktober 25, 2008

lamban



Ternyata buat blog tu gampang-gampang susah. Kayak hari ni, rencananya aku mo mempercantik blogku tapi kayaknya ga kesampean. Ada beberapa contains yang jadi targetku buat mempercantik tampilan, tapi tak satupun yang tampaknya sukses. Tah apa masalahnya. Gini d kalo orang baru belajar. Mentok sana mentok sini. Tok...tok...tok...mentooook........

Selengkapnya....

Jumat, Oktober 24, 2008

PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS MASYARAKAT

PENDAHULUAN

Otonomi Daerah membawa konsekuensi adanya penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan serta perencanaan pembangunan. Pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan pada kondisi dan potensi yang dimiliki daerah.

Daerah harus mengetahui segala potensi yang dimiliki serta lihai mengelolanya sehingga mampu melaksanakan pembangunan.

Pemerintah Daerah memiliki keleluasaan yang lebih banyak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan bisa mengarah pada pengelolaan secara bottom up. Dengan demikian Pemerintah daerah bukan lagi sekedar operator pembangunan, tetapi juga sebagai entrepreneur, koordinator, fasilitator dan stimulator.
[1]

Dengan pengelolaan yang bottom up akan menciptakan suatu pembangunan yang kreatif yaitu pembangunan yang mampu memberikan ciri khas daerahnya sendiri sehingga daerah tersebut nantinya akan memiliki keunggulan yang kompetitif.

Namun di lain pihak, anggaran pembangunan yang tersedia terbatas sedangkan program pembangunan yang dibutuhkan relatif banyak. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu melakukan penentuan prioritas program pembangunan yang diusulkan dimana penyusunannya berdasarkan kriteria yang terukur dan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menunjang impelementasi program pembangunan tersebut.

Kewenangan pengambil keputusan dan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat sepenuhnya ada pada pemerintah daerah dan legislatifnya termasuk dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan. Salah satunya adalah penyelenggaraan pelayanan bagi masyarakat miskin.

Kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera tuntas karena keadaan miskin membuat masyarakat menjadi lemah dan tidak bermartabat.

Pemerintah baik pusat maupun daerah telah berupaya dalam melaksanakan berbagai kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan namun masih jauh panggang daripada api. Kebijakan dan program yang dilaksanakan belum menampakkan hasil yang optimal. Masih terjadi kesenjangan antara rencana dengan pencapaian tujuan karena kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan lebih berorientasi pada program sektoral. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi penanggulangan kemiskinan yang terpadu, terintegrasi dan sinergis sehingga dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada masyarakat miskin untuk ikut serta dalam seluruh tahap pembangunan.

KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH BERSAMA
Kemiskinan adalah suatu fenomena sosial yang tidak hanya dialami oleh negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia namun juga bagi negara maju yang telah memiliki kemapanan dalam bidang ekonomi.

Kemiskinan sebagai masalah bersama tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan, akan tetapi juga harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan termasuk masyarakat itu sendiri.

Program pembangunan yang diarahkan kepada masyarakat miskin dapat dipandang sebagai upaya memenuhi kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Untuk dapat merencanakan program pembangunan sektoral yang holistik diperlukan suatu metode penentuan sasaran yang mapan. Oleh karena itu, pengembangan informasi yang berkaitan dengan profil penduduk miskin dan wilayah miskin harus dapat digunakan sebagai dasar penentuan sasaran secara tepat dan terarah.

Secara umum kemiskinan jika dilihat dari penyebabnya dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alami. Kemiskinan struktural lebih disebabkan pada hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan, serta lembaga yang ada di masyarakat yang menghambat produktivitas dan mobilitas masyarakat. Kemiskinan kultural berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya yang tidak produktif, tingkat kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah sedangkan kemiskinan alami terkait dengan kondisi alam dan geografis yang tidak mendukung masyarakat seperti daerah yang tandus, terpencil atau bahkan terisolasi.

Bali sebagai daerah tujuan wisata juga tidak terlepas dari kondisi masyarakat miskin baik struktural, kultural maupun alamiah. Mengutip pernyataan Kabid Sosbud Bappeda Provinsi Bali, Pande Maliana, pada media Bali Post tanggal 30 Mei 2006, dinyatakan bahwa kondisi kemiskinan di Bali disebabkan faktor alamiah seperti lahan kritis, tandus dan curah hujan yang rendah. Kemiskinan kultural karena perilaku dan kebiasaan masyarakat yang keliru serta kemiskinan struktural lantaran adanya kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yang tidak tepat.
Faktor yang memicu terjadinya kemiskinan diantaranya rendahnya taraf pendidikan sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan dalam memperoleh pekerjaan dan rendahnya tingkat kesehatan yang menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir serta prakarsa.

Salah satu tingkat kemiskinan di Bali dapat dilihat dari jumlah rumah tangga miskin (RTM). Hal ini sangat relevan mengingat secara umum masyarakat miskin bergantung hanya pada kepala keluarganya. BPS melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 variabel kemiskinan dimana variabel ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kemampuan memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non makanan. Adapun variabel-varabel yang dimaksud adalah

  1. Luas lantai bangunan tempat tinggal <>
  2. Lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
  3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
  4. Tidak mempunyai fasilitas buang air besar
  5. Penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
  6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
  7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
  8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam satu minggu.
  9. Hanya membeli satu setel pakaian baru dalam satu tahun.
  10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
  11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/poliklinik.
  12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani : dengan luas lahan <>
  13. Pendidkan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
  14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000,00 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Dari seluruh jumlah rumah tangga miskin di Provinsi Bali sebagian besar bermukim di bagian utara dan timur pulau Bali. Jika dilihat secara absolut, sebaran rumah tangga miskin terbanyak berada di Kabupaten Buleleng namun secara proporsional dari masing-masing kabupaten/kota proporsi rumah tangga miskin terbesar berada di Kabupaten Karangasem. Hal ini tidaklah mengherankan jika kita melihat kondisi geografis dari kedua daerah tersebut. Banyak kawasan di Kabupaten Buleleng maupun Kabupaten Karangasem yang memiliki kondisi alam yang kritis, tandus, curah hujan yang rendah serta sering terjadi bencana alam.

Kondisi ini masih memprihatinkan mengingat begitu banyak program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan.

Banyak masyarakat miskin yang telah tersentuh program penanggulangan kemiskinan namun hasilnya belum seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan permasalahan ini. Pertama, program penanggulangan masih berorientasi pada aspek ekonomi semata. Kenyataan yang ada bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah multi dimensi sehingga program penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tapi juga aspek lainnya secara holistik.

Kedua, program penanggulangan kemiskinan dengan pola top down planning memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek bukan sebagai subyek atau pelaku utama yang aktif terlibat dalam aktivitas program tersebut. Untuk itu perlu melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, bahkan jika memungkinkan sampai pada tahap pengambilan keputusan.

Ketiga, Program penanggulangan kemiskinan lebih bersifat sebagai suatu bentuk rasa murah hati dari pemerintah yang akhirnya mengenyampingkan produktivitas masyarakat miskin dan mendorong masyarakat miskin lebih menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan oleh pihak lain. Seharusnya masyarakat miskin dipandang sebagai sumberdaya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan penguatan agar mampu memanfaatkan daya yang dimiliki. Masyarakat miskin akan mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mau memberikan kebebasan kepada masyarakat tersebut untuk mengatur dirinya sendiri yang diikuti oleh peran pemerintah sebagai fasilitator.

Ruang lingkup program penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak hanya mengenai besarnya jumlah bantuan yang diberikan kepada sasaran namun juga harus terdapat upaya peningkatan kemampuan, kewenangan serta tanggung jawab masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam pengelolaan tersebut.


MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa program-program penanggulangan kemiskinan masih belum mencapai sasaran yang optimal. Hal ini berakibat banyak proyek pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat miskin menjasi salah alamat dan tidak memecahkan masalah.

Untuk itu diperlukan pemahaman dalam penanggulangan kemiskinan yang lebih melibatkan masyarakat miskin sebagai pelaku pembangunan. Masyarakat miskin tidak lagi hanya sebagai obyek yang dianggap tidak mampu sehingga tidak dilibatkan dalam proses perencanaan yang berdampak pada pelaksanaan kebijakan yang salah sasaran.

Melibatkan masyarakat tidak hanya sekedar berpartisipasi namun lebih daripada itu. Masyarakat miskin diberdayakan dalam proses pembangunan utamanya dalam menanggulangi kemiskinannya.

Pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya.

Pemberdayaan adalah sebuah ”proses menjadi”, bukan ”proses instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.
[2]

Tahap penyadaran, target sasaran yaitu masyarakat miskin diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai hak untuk menjadi berada. Di samping itu juga diberikan penyadaran bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk keluar dari kemiskinannya. Pada tahap ini, masyarakat miskin dibuat mengerti bahwa proses pemberdayaan itu harus berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar komunitas ini mendapat cukup informasi. Melalui informasi aktual dan akurat terjadi proses penyadaran secara alamiah. Proses ini dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan.

Tahap Pengkapasitasan, tahap ini bertujuan untuk memampukan masyarakat miskin sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mengelola peluang yang akan diberikan. Tahap ini dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan, lokakaya dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life skill dari masyarakat miskin. Pada tahap ini sekaligus dikenalkan dan dibukakan akses kepada sumberdaya kunci yang berada di luar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan harapan dan eksistensi dirinya. Selain memampukan masyarakat miskin baik secara individu maupun kelompok, proses memampukan juga menyangkut organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan organisasi melalui restrukturisasi organisasi pelaksana sedangkan pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan ”aturan main” yang akan digunakan dalam mengelola peluang.

Tahap Pendayaan, pada tahap ini masyarakat miskin diberikan peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Masyarakat miskin diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan yang dilakukan.

Konsep pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan sebagai mekanisme perencanaan dan pembangunan yang bersifat bottom up yang melibatkan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan perencanaan dan pembangunan. Dengan demikian, program penanggulangan kemiskinan disusun sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berarti dalam penyusunan program penanggulangan kemiskinan dilakukan penentuan prioritas berdasarkan besar kecilnya tingkat kepentingan sehingga implementasi program akan terlaksana secara efektif dan efisien.

Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu menilai lingkungan sosial ekonominya serta mampu mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu dilakukan perbaikan. Tahapan selanjutnya dari pemberdayaan adalah mewujudkan masyarakat yang mandiri berkelanjutan. Mandiri adalah langkah lanjut yang rasional dari masyarakat yang telah sejahtera. Dalam kata mandiri telah terkandung pengertian ada usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan usaha sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Dalam pemandirian masyarakat miskin hendaknya tidak mengabaikan potensi dan kapasitas yang tersisa dalam diri maupun kelompoknya serta menghindarkan diri dari budaya cepat puas dan merasa cukup. Dalam pemandirian masyarkat miskin diajak untuk mengembangkan jejaring komunikasi sehingga mereka bisa menambah wawasan dan selalu diingatkan untuk memiliki pikiran yang maju berwawasan jauh ke depan untuk menjangkau kondisi yang lebih baik.

PENUTUP
Dalam memberdayakan masyarakat miskin sangat diperlukan partisipasinya sebagai kekuatan dinamisasi dan perekat masyarakat akar rumput untuk menunjang pembangunan. Pemberdayaan memberi ruang bagi pengembangan keberagaman kemampuan masyasakat miskin dimana satu sama lain akan saling melengkapi.

Memberdayakan masyarakat dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan harus mampu meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki terhadap program yang dilaksanakan.

Jadi dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan bukanlah jumlah bantuan yang diutamakan teapi bagaimana menggerakkan partisipasi masyarakat sehingga menciptakan pembangunan yang berbasis kepada masyarakat.
[1] Lincolin Arsyad, ”Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah”, 1999
[2] Randy R Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, ”Manajemen Pemberdayaan. Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat”, 2007

By : Putu A. Pramitha P.

Jurnal Ekonomi dan Sosial "INPUT"

Volume 1 Nomor 1 Februari 2008

Selengkapnya....

dedicated to......

Blog ini bisa ada sebenernya sebagai kado ultah lv november nanti sekaligus sebagai permintaan maaf atas kesalahanku. Mudahan aja blog ini bisa buat lv senang n bisa bangga ma usahaku...i tried for the best. Aku coba ikutin petunjuk-petunjuknya, namanya juga awam. Baru segini d kemajuannya. It'll be better next time specially on ur b'day. Promise...


Selengkapnya....

Kamis, Oktober 23, 2008

EKONOMI INDONESIA DARI MASA KEMASA : EKSISTENSI EKONOMI RAKYAT


ABSTRAKSI

Rakyat adalah pemilik negara ini, karenanya pembangunan nasional seharusnya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ironisnya, sepanjang sejarah pembangunan ekonomi Indonesia, kue pembangunan nasional lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Rakyat kecil hanya menjadi sumberdaya murah yang sedikit menikmati hasil cucuran keringatnya. Pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil selama ini menimbulkan berbagai problema kompleks. Untuk mengatasinya diperlukan suatu sistem ekonomi yang berasaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Suatu sistem yang bermoral dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berkembang sehingga berkelanjutan. Pencapaian tujuan pembangunan nasional dapat dilakukan salah satunya melalui otonomi daerah dan tentu saja semua itu harus mendapat dukungan sepenuh hati pemerintah terhadap rakyat.

PENDAHULUAN
Sistem ekonomi merupakan suatu aturan main berekonomi, yaitu hubungan antara unsur-unsur ekonomi dalam sistem itu untuk mencapai yang lebih baik. Sepanjang perjalanan sejarahnya, bangsa Indonesia mengalami beberapa perubahan sistem yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, masa sebelum kemerdekaan (selama dijajah Belanda), dibedakan menjadi 3 masa. Kedua, masa setelah kemerdekaan yang merupakan siklus 7 tahunan sebagai tahap menuju Ekonomi Kerakyatan (Mubyarto;2000).
I. Masa Sebelum Kemerdekaan :
1. 1600 – 1800 Merkantilisme
2. 1830 – 1870 Tanam taksa
3. 1870 – 1945 Kapitalis liberal
II. Masa Setelah Kemerdekaan
1. 1945 – 1952 Ekonomi perang
2. 1952 – 1959 Pembangunan ekonomi nasional
3. 1959 – 1966 Ekonomi komando
4. 1966 -1973 Demokrasi ekonomi
5. 1973 – 1980 Ekonomi minyak
6. 1980 – 1987 Ekonomi keprihatianan
7. 1987 – 1994 Ekonomi konglomerasi
8. 1994 – 2001 Menuju ekonomi kerakyatan
Tetapi saat ini, pada tahap menuju ekonomi kerakyatan, konstelasi ekonomi dan politik dunia telah berubah menjadi liberalisasi dan globalisasi sehingga sistem kapitalisme pasar bebas telah menjadi paham tunggal yang menguasai dunia. Jangan lupa bahwa dalam proses globalisasi selalu ada wilayah yang pertumbuhan ekonominya meningkat tetapi ada juga yang justru lebih miskin dari sebelumnya. Dan kita sebagai suatu bangsa yang mau tidak mau juga menghadapi globalisasi maka tidaklah mengherankan jika kita lebih menekankan pembangunan pada nilai budaya yang kita miliki agar proses globalisasi tidak menjadi proses “gombalisasi”.
Satu hal lagi yang perlu diingat bahwa pembangunan suatu bangsa tidak akan berhasil dengan menggunakan satu resep umum yang berdasarkan teori-teori pembangunan umum. Setiap teori pertumbuhan hanya dapat diterapkan dan berhasil dengan menjadikannya relevan untuk negara dan bangsa yang bersangkutan. Jadi pembangunan memang hanya akan berkelanjutan jika didasarkan dan didukung budaya seluruh warga bangsa.

REFORMASI EKONOMI
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif baik. Namun kondisi politik semakin tidak stabil dan sulit diramalkan, khususnya dengan terjadinya pemberontakan-pemberontakan di daerah dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda tahun 1957-1958. Pada pidato peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin dengan sistem Ekonomi Terpimpin. Kemudian di tahun 1960 ditetapkan Rencana Delapan Tahun yang berdasarkan rencana tersebut Indonesia diharapkan mampu mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Namun perekonomian semakin memburuk sehingga target-target yang ditetapkan tidak tercapai.
Sepanjang periode 1960 – 1965 perekonomian Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti. Pada tahun 1960, 1962, dan 1963 terdapat penurunan pendapatan perkapita yang masing-masing sebesar 1,6%, 3%, dan 4%. Defisit anggaran sangat besar bahkan pada tahun 1962 terjadi peningkatan defisit anggaran sebesar 134%. Uang beredar tumbuh dengan cepat sehingga inflasi pada tahun 1965 mencapai 594% (hyperinflation).[1]
Berbeda dengan kenyataan di atas, pemerintah Orde Baru (Orba) berusaha memperbaiki perekonomian Indonesia dengan mengambil langkah-langkah : membebaskan sistem pengawasan devisa, menerapkan anggaran dinamis sebagai pengendali inflasi, membuka kran penanaman modal asing langsung (UU PMA tahun 1967) dan penanaman modal dalam negeri (UU PMDN tahun 1968), mendirikan konsorsium negara-negara donor bagi utang luar negeri Indonesia (IGGI) dan ditopang dengan oil boom sejak awal 1970 sampai awal 1980-an pemerintah mampu menciptakan pembangunan yang mengagumkan. Di sisi lain, prestasi yang telah dicapai oleh Orba juga mendapat penilaian negatif, yang menyatakan prestasi ekonomi Indonesia adalah semu dengan fundamental yang rapuh. Pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh sumberdaya domestik yang tangguh, tetapi karena investasi asing dan pembiayaan utang luar negeri sehingga Indonesia terjerat pada lingkaran utang tak berujung pangkal dan tidak dapat membiayai pembangunan tanpa utang ini (debt trap). Ini semua menimbulkan beban bagi negara yang menyebabkan terjadinya “ekonomi biaya tinggi” yang pasti tidak efisien. Adanya deregulasi 1983 dan kebijakan Pakto ’88 merupakan awal era konglomerasi yang dianggap sebagai dewa penolong bagi perekonomian nasional ternyata membawa ketidakmerataan yang lebih jauh bagi rakyat Indonesia.
Kelahiran konglomerat memang banyak terkait dengan kebijakan pemerintah yang memberi banyak peluang untuk berkembang dengan dukungan berbagai fasilitas berupa proteksi, hak monopoli dan oligopoli, bantuan kredit seperti kredit sindikasi, subsidi dan sebagainya. Fasilitas proteksi direkayasa dengan berlindung di balik pengembangan industri dalam negeri, atau diberi label komoditi strategis, dan untuk perluasan kesempatan kerja. Untuk mendapatkan modal yang besar, rekayasa dilakukan dengan mengajukan pinjaman ke bank dan masuk ke pasar modal. Perluasan perusahaan dengan memanfaatkan dana bank antara lain dilakukan dengan praktek mark-up sehingga memungkinkan dengan modal terbatas atau tanpa modal sendiri membuat perusahaan baru. Untuk mendapatkan itu konglomerat harus dekat dengan jaringan birokrasi yang membuka peluang sangat besar terhadap berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga timbul sebutan kapitalis birokrat, kapitalis semu atau kapitalisme perkoncoan (crony capitalism).
Proteksi yang seharusnya bersifat sementara terutama pada infant industry yang notabene milik konglomerat menjadi akut. Industri memang berkembang pesat tetapi bukan karena efisiensi melainkan karena banyaknya proteksi yang diperoleh. Krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 telah banyak menghancurkan bisnis konglomerat Indonesia merupakan bukti bahwa lemahnya daya tahan dan daya saing mereka karena proteksi yang berlebihan tersebut. Untuk memberantas konglomerasi yang merugikan ekonomi terutama ekonomi rakyat kecil diperlukan kaji ulang terhadap sistem ekonomi yang kapitalis dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral.
Pengkajian ulang sistem ekonomi ini memerlukan perubahan radikal (reformasi) yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sekaligus menghapus berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah ketimpangan alokasi kredit yang diterima oleh sektor pertanian. Sejauh ini alokasi kredit perbankan lebih banyak masuk ke sektor modern yang hanya sebagian kecil masyarakat yang menggelutinya. Sektor ekonomi yang berkaitan dengan rakyat banyak, yakni pertanian hanya menikmati porsi kecil dari kredit yang ada. Kredit yang diterima oleh sektor ini pada tahun 2000 sebesar Rp 15.028 miliar sedangkan sektor industri sebesar Rp 35.697 miliar, perdagangan Rp 30.601 miliar, dan jasa sebesar Rp 23.784 miliar. Tiga sektor terakhir merupakan penyerap terbanyak dari kredit perbankan nasional walaupun menampung relatif sedikit tenaga kerja. Selain ketimpangan antar sektor juga terdapat ketimpangan antar daerah terutama antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, ketimpangan antar golongan ekonomi, dan ketimpangan yang paling parah adalah kemiskinan. Ketimpangan-ketimpangan ini jika tidak ditindaklanjuti, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak kapan saja.

Keadaan masyarakat sudah tidak seperti dulu lagi. Selain adanya ketimpangan-ketimpangan, juga terdapat perubahan sikap masyarakat terhadap pemerintah. Seperti yang dinyatakan oleh seorang pengamat tentang Indonesia, Eugene Galbraith,
We went through a period where people were dependent on the government. And then a period when people were disappointed by the government. Now, people just ignore the government. That progress.”[2]

Untuk mengurangi ketimpangan, diperlukan suatu reformasi ekonomi dimana harus dilakukan dengan mengganti sistem kapitalis dan menerapkan sistem ekonomi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang berasaskan keadilan ekonomi, nasionalisme, dan kerakyatan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat adil dan makmur yang dimaksudkan adalah masyarakat yang taraf kehidupannya serba berkecukupan (tidak miskin), dan tidak ada kesenjangan kesejahteraan yang besar antar warga negara, dengan Sistem Ekonomi Pancasila ini diharapkan ekonomi rakyat memperoleh jaminan berkembang dengan leluasa sehingga “berkelanjutan”. Pembangunan ekonomi juga demikian, yaitu tidak boros dalam penggunaan sumberdaya alam yang memberikan nikmat berlebihan pada generasi sekarang tetapi membuat sengsara generasi mendatang.
Ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi produktif yang dilaksanakan rakyat atau masyarakat kecil secara swadaya dengan mendayagunakan sumberdaya yang dapat dikuasainya dalam lingkungan terbatas dengan teknologi sederhana. Demikian, ekonomi rakyat berciri subsistem (tradisional), tenaga kerja keluarga, modal dan teknologi seadanya. Kegiatan ini lebih bersifat produktif bukan konsumtif, yaitu segala upaya untuk menghasilkan barang atau pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Ekonomi rakyat sangat berbeda dengan ekonomi konglomerat. Ekonomi konglomerat bersifat kapitalistik yang hanya mengejar keuntungan tanpa batas dengan cara bersaing bahkan menjurus pada persaingan yang saling mematikan (free fight liberalism). Sedangkan ekonomi rakyat adalah ekonomi yang sifatnya tidak kapitalistik dengan semangat yang menonjol adalah bekerja sama, karena efisiensi hanya akan tercapai dengan kerja sama yang “kompak”. Bangun usaha yang menekankan pada kerja sama adalah koperasi dimana produksi semua barang yang dibutuhkan masyarakat dikerjakan oleh semua masyarakat dan pelaksanaannya diawasi langsung oleh anggota-anggota masyarakat baik yang terorganisasi dalam badan perwakilan, lembaga swadaya maupun pers, kemudian hasilnya diperuntukkan sepenuhnya bagi masyarakat tersebut.

EKONOMI RAKYAT BUKAN SEBUAH RETORIKA
Krisis ekonomi yang terjadi di Indoneia saat ini merupakan akibat dari kebijakan ekonomi yang terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan ekonomi konglomerat. Di pihak lain justru menyebabkan terabaikannya pemerataan dan keadilan.
Berbeda dengan industri modern yang ambruk diserang krisis, tidak demikian halnya dengan sektor pertanian dan Usaha Kecil dan Mengengah (UKM). Berdasarkan laporan BPS bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) di 5 propinsi selama Januari-November 1998 meningkat rata-rata 11,7% dibanding NTP tahun 1997. Kenaikan angka NTP di 5 propinsi tersebut masing-masing Propinsi Sumatera Selatan sebesar 17,0%, Daerah Istimewa Jogjakarta sebesar 14,4%, Nusa Tenggara Barat sebesar 13,7%, Sulawesi Selatan sebesar 6,8%, serta Bali sebesar 6,7%.[3] Berarti di propinsi-propinsi ini kesejahteraan petani meningkat setelah krisis moneter dan memberikan rangsangan khusus pada produksi hasil pertanian. Krisis ekonomi telah menguntungkan sebagian petani.
Krisis ekonomi adalah suatu bentuk koreksi pasar terhadap strategi pembangunan ekonomi yang ditempuh. Karena itu diperlukan reformasi strategi pembangunan ekonomi yang lebih mengandalkan potensi ekonomi domestik yang ditujukan untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Keputusan ekonomi politik yang memberdayakan ekonomi rakyat dan desentralisasi ekonomi (dalam arti luas, tidak hanya pembagian keuangan pusat-daerah) merupakan wujud reformasi ekonomi. Pilihannya adalah melakukan focusing pada sektor-sektor ekonomi yang tidak memerlukan investasi pemerintah yang besar tetapi mampu menciptakan kesempatan kerja, berusaha dan pendapatan yang cukup besar dan meluas di setiap daerah, yakni sektor pertanian.
Seperti yang dinyatakan oleh Menteri Pertanian Bungaran Saragih[4] bahwa pembangunan pertanian Indonesia memerlukan perbaikan visi dan kesabaran untuk memetik hasilnya. Departemen Pertanian berkeinginan untuk mengubah paradigmanya. Pertama, pelaku pembangunan pertanian bukanlah pemerintah tetapi masyarakat. Pemerintah hanya memfasilitasi dan membuat regulasi. Selanjutnya mengubah cara pandang petani bahwa bertani itu bukan sekedar jalan hidup, tetapi sebuah kegiatan bisnis. Kegiatan pertanian bukan hanya didasarkan pada produk yang dihasilkan tapi apa yang diinginkan oleh pasar.
Indonesia bisa belajar dari pertanian Cina yang berjalan baik karena mereka tahu benar siapa diri mereka. Mereka adalah bangsa petani dan karena pertanian itu mereka menjadi besar. Kemudian memaksimalkan potensi itu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk membantu mensejahterakan bangsanya.
Seperti halnya sektor pertanian, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga merupakan sektor ekonomi rakyat yang “tahan banting” sehingga mampu menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, politik dan keamanan yang berubah. Krisis multi-dimensi yang menghancurkan sektor ekonomi modern bisa direspon dengan baik oleh sektor ekonomi rakyat ini.
Ini memungkinkann terjadi mengingat UKM tidak tergantung pada bahan baku impor. Pada waktu harga bahan baku impor melambung sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah, UKM justru terus berproduksi dengan harga relatif lebih stabil karena menggunakan bahan baku lokal. UKM memiliki potensi pasar yang tinggi karena biaya produksi rendah, harga produk yang dihasilkan relatif menjadi rendah sehingga terjangkau oleh kalangan pasar terbesar di Indonesia, yaitu golongan ekonomi lemah.
Data BPS menunjukkan jumlah UKM pada tahun 2001 sebanyak 39,04 juta unit atau sekitar 99% dari total unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 74,4 juta orang atau 99,6% dari total angkatan kerja di Indonesia.[5] Walaupun UKM dapat bertahan dalam badai krisis, pada kenyataannya mereka masih membutuhkan bantuan modal seperti Kredit Usaha Kecil (KUK). Pada periode Desember 2000 – Agustus 2001, KUK tumbuh sebesar 11,4% sedangkan kredit bukan KUK hanya sekitar 4,3%.
Deretan panjang bank yang percaya akan ketangguhan UKM kini telah bertambah. Kita akan melihat tingkat kepercayaan bank-bank yang berkantor pusat di daerah terhadap UKM. Menurut data Bank Indonesia, ada 20 bank yang berkantor pusat di daerah, jumlah ini belum termasuk Bank Pembanguan Daerah (BPD). Dari 20 bank tersebut, Bank Maspion, Bank NISP, dan Bank Nusantara Parahyangan (BNP) yang memiliki kepercayaan tinggi terhadap para pengusaha sektor UKM. Ini dapat dilihat dari alokasi kredit yang mereka kucurkan untuk UKM tergolong besar dari alokasi kredit totalnya.
Bank Maspion berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur, per-Juni 2001 telah mengucurkan dana sekitar Rp 565 miliar untuk sektor UKM dengan kredit totalnya yang Rp 588,51 miliar berarti bank ini telah mengalokasikan kreditnya untuk UKM sekitar 96%. Bank NISP yang berkantor pusat di Bandung mengalokasikan sebesar 70% dari kredit totalnya untuk UKM sedangkan BNP yang juga berkantor pusat di Bandung, menyalurkan hampir seluruh dana kreditnya untuk UKM.
Menjadikan sektor UKM yang lentur bukanlah mudah bagi sektor perbankan. Banyak kendala yang dihadapi pihak bank, antara lain masalah administrasi, UKM tidak memiliki jaminan yang memadai, pembukuan yang seadanya, strategi marketing yang kurang dan teknologi yang relatif sederhana. Untuk mengatasinya bank-bank tersebut memberikan sejumlah solusi dengan menyediakan informasi pasar (pemasok dan pelanggan), serta menekankan pentingnya memiliki pembukuan yang rapi serta rajin untuk berkonsultasi.
Pengalaman dari pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila yang juga telah membuktikan bahwa ekonomi rakyat memiliki daya tahan yang tinggi adalah Program IDT. Program IDT merupakan program ekonomi dengan pendekatan sosial dan moral untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan penduduk miskin melalui pengembangan-pengembangan usaha produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga miskin. Program ini mengupayakan pemberdayaan masyarakat melalui pemberian bantuan modal kerja yang makin memampukan kegiatan ekonomi mereka dan akhirnya memandirikannya.[6]
Kemandirian usaha merupakan salah satu ukuran keberhasilan program. Jika usaha-usaha anggota telah mandiri, tidak lagi tergantung pada pemerintah atau pihak luar maka program akan berubah menjadi suatu gerakan swadaya yang mandiri.
Survei Pokmas IDT oleh BPS mengenai dampak ekonomi program, dampak partisipasi, kemandirian dan kelembagaan secara umum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dampak ekonomi rata-rata untuk seluruh Indonesia adalah 58,8%, dengan persentase tertinggi adalah Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (90%) disusul oleh Propinsi Bali (87%), DKI Jakarta (87%), Sulawesi Utara (85%), Jawa Barat (83%), Nusa Tenggara Timur (79%) dan Sulawesi Tengah (77%). Kalimantan Barat merupakan daerah yang paling mengecewakan di Indonesia dengan keberhasilan tingkat hanya 20% berarti 80% kelompok masyarakatnya gagal memanfaatkan program IDT.
OTONOMI DAERAH
Pembangunan ekonomi direncanakan terpusat melalui pembangunan ber-Pelita dimana rencana pembangunan diatur dan dikendalikan sepenuhnya di pusat sebagai pembangunan nasional, dan setiap daerah memperoleh semacam alokasi anggaran dan program serta proyek tertentu yang merupakan program nasional yang ditempatkan di daerah yang bersangkutan. Jadi pembangunan di daerah bukan pembangunan milik daerah melainkan pembangunan nasional yang berdasarkan kemurahan hati Bappenas dan Departemen Dalam Negeri kepada daerah tertentu. Dalam istilah lain, pembangunan dikelola secara top down.
Dengan diberlakukannya UU no 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU no 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, diharapkan daerah memiliki keleluasaan yang lebih banyak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan bisa mengarah pada pengelolaan secara bottom up. Dengan demikian pemerintah daerah bukan lagi sekedar operator pembangunan, tetapi juga sebagai entepeuner, koordinator, fasilitator, dan stimulator.[8]
Dengan pengelolaan yang bottom up akan menciptakan suatu pembangunan yang kreatif yaitu pembangunan yang mampu memberikan ciri khas daerahnya sendiri sehingga daerah tersebut nantinya akan memiliki keunggulan yang kompetitif. Perlu diperhatikan bahwa pembangunan berdasarkan ciri khas berarti pembangunan berdasarkan pada budaya yang dianut oleh masayarakat daerah yang bersangkutan. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa pembangunan memang hanya akan berkelanjutan jika didasarkan dan didukung budaya seluruh masyarakatnya.

PENUTUP
Sejarah telah membuktikan bahwa sistem ekonomi sosialis maupun liberal yang “kebablasan” tidak menuntun rakyat Indonesia menuju kadilan sosial tetapi justru menuntun ke arah ketidakadilan dan kesengsaraan yang menyedihkan.
Terlebih lagi dengan pelaksaan struktur ekonomi yang terlalu bersandar pada ekonomi konglomerat akhirnya akan sangat tergantung pada pasokan bahan baku dari luar negeri karena produk yang dihasilkan mengandung local intent yang rendah. Terbukti bahwa imbas dari krisis moneter telah menghancurkan ekonomi tersebut. Karena itu diperlukan penyesuaian kebijakan yang berpihak tanpa ragu pada ekonomi rakyat. Sehingga terwujud strategi pembangunan yang berpihak pada rakyat banyak dan memberi peluang kepada sebagian besar rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan ekonomi tersebut serta menikmati hasil dari keterlibatannya secara layak. Kebijakan harus bias ke ekonomi rakyat dalam rangka memperkuat posisinya untuk bersaing di pasar yang kian terbuka.
Seperti yang telah diamanatkan oleh GBHN 1999-2004 bahwa perkonomian dibanguna berlandaskan sistem ekonomi kerakyatan, dimana kekuatan ekonomi rakyat dikembangkan menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi nasional.
[1] Hal Hill, “Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966”, 1996, hlm 4.
[2] Newsweek, “Boom in The Gloom : fires, rebels, debt. The dramatic headlines mask a surprising economic story in Indonesia, 11 Maret 2002.
[3] Mubyarto, “Reformasi Sistem Ekonomi”, 1999
[4] Kompas, “Pembangunan Pertanian Butuh Visi dan Kesabaran”, 28 Maret 2002
[5]Kompas, “UKM Memiliki Ketahan Lebih Baik Dibanding Usaha Besar” , 26 Oktober 2001.
[6] Mubyarto, idem.
[7] Mubyarto, “Reformasi Sistem Ekonomi”, hlm 75
[8] Lincolin Arsyad, “Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah” 1999.
By "PUT"

Selengkapnya....

percobaan

Hiiiiiiii.....ini tulisanku yang ptama. Semuanya masih testing alias coba-coba. Jadi percobaan d. Mudahan ada hal yang berguna. Salam...

Selengkapnya....